Kamis, 17 Juli 2008

Pararaton: Penafsiran Baru

PARARATON REVISITED
Suatu Penafsiran Baru Mengenai
Keluarga Raja-Raja Majapahit

o l e h
NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN



SEJAK akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah Pararaton di kalangan para ahli sejarah.

Terlebih dahulu kita catat daftar raja-raja Majapahit. Raja pertama, Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan putranya, Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik wanitanya, Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta kerajaan diwarisi putra Tribhuwana, Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389). Hayam Wuruk digantikan keponakan dan menantunya, Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429). Setelah itu naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447). Selanjutnya Suhita digantikan adiknya, Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451). Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut diwarisi oleh tiga orang putra Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453); Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).

Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.

Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa, yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’.

Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr. Boechari, “While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.

Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage semacam ini masih berlaku di Kerajaan Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.


PERIODE AWAL MAJAPAHIT (1294–1375)

Kertarajasa, yang naik tahta tahun 1294, beristri empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari, Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I) Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi.

Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja. Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II) Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga berputri Sri Sudewi Padukasori.

Pada tahun 1350 Hayam Wuruk menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre Kabalan(I) Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri: Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir.

Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre Daha(III); Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang gelar Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan dalam Pararaton.

Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga putra dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.


PERIODE KADATON WETAN (1376–1406)

Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulon (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan munculnya kerajaan baru.

Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan Willem Pieter Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat, Wu-lao-po-wu, sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi baru pada tahun 1964 Prof. George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.

Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina.

Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya.

Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari.

Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.

Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II). Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre Lasem (yang sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu).

Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan.

Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang Paregreg tahun 1405–1406. Kadaton wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi!


PERIODE PASCA PAREGREG (1406–1453)

Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre Kabalan(II).

Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan, maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.

Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre Jagaraga Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton, semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.

Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III) Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III) Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.

Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.

Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III) Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, putri-putri Bhre Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.

Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi. Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri, yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.


PERIODE AKHIR MAJAPAHIT (1453–1478)

Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.

Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.

Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).

Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).

Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur di istana ketika bertempur melawan para keponakannya.

Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).


KERAJAAN KELING DAN DAHA (1478–1527)

Sesudah Majapahit runtuh tahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Mula-mula Girindrawardhana Dyah Wijayakarana bertahta (1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya. Dia digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang memerintah mungkin hanya beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang Mokta ring Mahalayabhawana. Akhirnya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja (1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.

Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak menceritakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan melawan Majapahit. Prasasti Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara Daha Sang Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara), yaitu Bhre Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.

Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya.

Uraian Tome Pires bahwa Batara Mataram menjadi raja menggantikan Batara Sinagara jelas tidak benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453, sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik tahta tahun 1478 setelah dia dan saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit. Tetapi uraian Tome Pires mudah kita pahami, sebab dia memperoleh informasi dari pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman mereka, Girisawardhana dan Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.

Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Daha. Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513 Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan dari Keling ke Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan diatur mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate dengan Portugis membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan musuh Portugis. Pate Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai menantu Pate Unus yang pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang disebut Pate Rodin Senior, Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada lain adalah sultan-sultan Demak: Raden Patah (1481–1518), Adipati Yunus (1518–1521), dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha tahun 1527 pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur.


ISLAM DAN MAJAPAHIT

Masyarakat Islam sudah eksis di Jawa Timur sejak abad ke-11, dua abad sebelum berdirinya Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya Fathimah (`Ashimah?) binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember 1082). Beberapa istilah bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di Tralaya, lokasi bekas keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan ada yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah makam berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.

Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang beragama Islam. Mungkin ini ucapan lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang menyatakan asal putri itu dari Aceh Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Cempa adalah permaisuri Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari Bhatara Wijaya) harus kita cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit yang namanya memakai kata wijaya, yaitu Sanggramawijaya (raja pertama), Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara (Sang Sinagara, raja ke-8), serta putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Jika cerita tentang Putri Cempa ini benar, barangkali dia adalah selir Kertawijaya (1447–1451), sebab sang permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.

Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kesultanan Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar Brawijaya, dan tahta Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden Patah, adipati Demak yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman kekuasaan akibat runtuhnya Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.

Kerajaan Hindu yang ditaklukkan oleh Demak bukanlah Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi raja Majapahit. Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan kakak-kakaknya. Dengan demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua fakta sejarah yang berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat serangan putra-putra Sang Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha tahun 1527 akibat penaklukan oleh Demak.***


LAMPIRAN: BHATARA-BHATARA DI DAERAH MANDALA

BHRE KAHURIPAN
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Par.27:18,19; 29:32; Nag.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani 1389-1400 Par.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja 1400-1446 Par.30:5,6; 31:35
Rajasawardhana 1447-1451 Par.32:11; Prasasti War.Pitu
Samarawijaya 1451-1478 Par.32:23

BHRE DAHA
Jayanagara 1295-1309 Nag.47:2; Prasasti Sukamerta
Rajadewi 1309-1375 Par.27:15; 29:31; Nag.4:1
Indudewi 1375-1415 Par.29:19; 31:10,21
Suhita 1415-1429 ?
Jayeswari 1429-1464 Par.30:8; 31:34; 32:18; War.Pitu
Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

BHRE TUMAPEL
Kertawardhana 1328-1386 Par.27:17; 29:34; 30:1; Nag.3:1
Abangnya Suhita 1389-1427 Par.30:3,7,11,12; 31:6,24
Kertawijaya 1429-1447 Par.30:4,8; 32:1
Suraprabhawa 1447-1466 Par.32:21; War.Pitu; Trawulan III

BHRE WENGKER
Wijayarajasa 1328-1388 Par.27:15; 30:19; Nag.4:2
Ayahnya Sawitri 1389-1427 Par.30:12,17; 31:25
Girisawardhana 1429-1456 Par.32:15; War.Pitu

BHRE LASEM
Indudewi 1350-1375 Par.27:23; Nag.5:1
Nagarawardhani 1375-1400 Par.29:22; 30:37
Kusumawardhani 1389-1400 Par.29:18,21; 30:36
Istri Bhre Tumapel(II) 1400-1430 Par.30:7; 31:31
Istri Bhre Tumapel(II) 1406-1430 Par.30:11; 31:31

BHRE PAJANG
Dyah Nartaja 1350-1388 Par.27:24; 29:20; 30:22; Nag.5:2
Suhita 1389-1415 ?
Sureswari 1429-1450 Par.30:15; 32:6; War.Pitu

BHRE PAGUHAN
Raden Sumana 1350-1388 Par.27:25; 30:23; Nag.6:2
Ratnapangkaja 1389-1400 ?
Ayahnya Sripura 1400-1440 Par.30:13-17; 32:4

BHRE KABALAN
Kusumawardhani 1358-1389 Nag.7:4
Jayeswari 1415-1429 ?
Sawitri 1429-1450 Par.30:17; 32:5;
War.Pitu; Trawulan III

BHRE MATARAM
Wikramawardhana 1353-1375 Nag.6:3
Rajasakusuma 1375-1399 ?
Putri Wirabhumi(II) 1406-1415 Par.30:10; 31:21
Kertawijaya 1415-1429 Suma Oriental(?)
Wijayakarana 1451-1478 Par.32:23

BHRE MATAHUN
Raden Larang 1350-1388 Par.27:24; 30:21; Nag.6:1
Ibunya Sawitri 1406-1415 Par.30:11,13; 31:21
Samarawijaya 1447-1451 War.Pitu; Trawulan III

BHRE WIRABHUMI
Nagarawardhani 1354-1375 Nag.6:3
Raja kadaton wetan 1375-1406 Par.29:19,23; 30:9; 31:3,11
Pureswari 1447- ……. War.Pitu

BHRE PANDANSALAS
Ranamanggala 1375-1400 Par.29:26; 30:5; 31:1
Raden Jagulu 1400-1430 Par.31:31
Suraprabhawa 1430-1447 Par.30:18; 32:21

BHRE KELING
Putra BhreTumapel(II) 1429-1446 Par.30:16; 31:36
Rajasawardhana 1446-1447 Par.32:11
Wijayakarana 1447-1451 War.Pitu

BHRE PAMOTAN
Rajasawardhana 1429-1446 Par.32:11
Wijayakusuma 1451-1478 Par.32:23

BHRE PAWANAWAN
Surawardhani 1355-1389 Nag.6:4

BHRE PAKEMBANGAN
Putra Bhre Wirabhumi(II) ? Par.30:9

BHRE JAGARAGA
Wijayaduhita 1429-1466 Par.30:13; 32:20; War.Pitu

BHRE TANJUNGPURA
Manggalawardhani 1429-1464 Par.30:14; War.Pitu

BHRE KEMBANGJENAR
Sudharmini 1429- ……. Par.30:16; War.Pitu

BHRE SINGAPURA
Sripura 1429- ……. Par.30:18; War.Pitu; Trawulan III

BHRE KALINGGAPURA
Sudayita 1447- ……. War.Pitu

BHRE KERTABHUMI
Ranawijaya 1451-1478 Par.32:24



PUSTAKA (disusun menurut tahun terbit) :

Jan Laurens Andries Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, bewerkt door Nicolaas Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1920.

Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Leran a Java”, Tijdschrift 65, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1925.

Martha Adriana Muusses, “Singhawikramawarddhana”, Feestbundel 2, Bataviaasch Genootschap (150 jarig bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.

Nicolaas Johannes Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, Volume 1-2, translated from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.

Louis-Charles Damais, “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions datees de l’Indonesie”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 46, Paris, 1952.

Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: I. Les tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 48, Paris, 1957.

Bertram Johannes Otto Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.

Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.

Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., Volume 4, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.

Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Parwa 1-2, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.

George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968.

Andries Teeuw et al, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung, Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The Hague, 1969.

Merle Calvin Ricklefs, “A Consideration of Three Versions of the Babad Tanah Djawi, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol.35(2), London, 1972.

Boechari, “Epigraphic Evidence on Kingship in Ancient Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid V(1), Bhratara, Jakarta, 1973.

Jacobus Noorduyn, “The Eastern Kings in Majapahit”, Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden, 1975.

Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut, Leiden, 1978.

Hasan Djafar, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta, 1978.

Slametmulyana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.

Nia Kurnia Sholihat, “Rekonstruksi Sejarah Majapahit”, Harian Umum Sinar Harapan, 13 Februari 1985.

Prasasti Kedukan Bukit

MENELUSURI MAKNA PRASASTI KEDUKAN BUKIT

oleh
NIA KURNIA SHOLIHAT


DI ANTARA prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, prasasti Kedukan Bukit paling menarik diperbincangkan. Di samping banyak mengandung kata yang tidak mudah ditafsirkan, prasasti tersebut oleh beberapa sarjana dianggap mengandung kunci pemecahan masalah lokasi ibukota kerajaan besar itu, yang mendominasi pelayaran dan perdagangan internasional selama empat abad. Dari segi ilmu bahasa, prasasti Kedukan Bukit merupakan pertulisan bahasa Melayu-Indonesia tertua yang pernah ditemukan sampai saat ini.

Alkisah, di daerah Kedukan Bukit, Palembang, terdapat batu bertuliskan huruf kuno yang dikeramatkan penduduk. Jika diadakan perlombaan berpacu perahu bidar di Sungai Musi, perahu yang akan dipakai ditambatkan dulu pada batu itu dengan harapan memperoleh kemenangan. Pada bulan November 1920, Batenburg seorang kontrolir Belanda mengenali batu itu sebagai prasasti. Penemuan itu segera dilaporkan pada Oudheidkundigen Dienst (Dinas Purbakala). Akhirnya, prasasti itu tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor D.146.

Pada tahun itu juga, Residen Palembang Louis Constant Westenenk menemukan prasasti lain di daerah Talang Tuwo. Di Museum Pusat prasasti itu bernomor D.145. Kemudian kedua prasasti itu ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel van Ronkel pada tahun 1924 dalam majalah ilmiah Acta Orientalia.[1]


ISI PRASASTI

Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti berangka tahun yang tertua di Indonesia. Terdiri atas sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, masing-masing baris berbunyi sebagai berikut:

1 Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2 klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3 samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4 wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5 tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6 dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7 telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8 sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9 laghu mudita datang marwuat wanua .....
10 Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:

1 Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2 paroterang
[2] bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3 perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4 bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5 tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6 dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7 tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
8 sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9 lega gembira datang membuat wanua .....
10 Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, kita mendapatkan data-data:

1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).[3] Tidak ada keterangan dari mana naik perahu dan mau ke mana.
2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang (sampai kini masih ada desa Upang di tepi Sungai Musi, sebelah timur Palembang).
3. Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni).

Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Besar kemungkinan dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

Timbul setumpuk pertanyaan: Di manakah letak Minanga? Benarkah Minanga merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya, ataukah hanya daerah taklukan Sriwijaya? Apakah arti kalimat ‘marwuat wanua’? Benarkah kalimat itu menyatakan pembangunan sebuah kota seperti pendapat banyak ahli sejarah? Benarkah peristiwa itu merupakan pembuatan ibukota atau perpindahan ibukota Sriwijaya? Demikianlah prasasti Kedukan Bukit mengandung banyak persoalan yang tidak sederhana. “This text has caused much ink to flow,” kata Prof. Dr. George Coedes.[4]


BEBERAPA TAFSIRAN

Pada tahun 1975 Departemen P dan K menerbitkan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditetapkan sebagai buku standar bagi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Jilid II membahas Zaman Kuna, disusun oleh Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edhie Wuryantoro, Hasan Djafar, Oei Soan Nio, Soekarto K. Atmojo dan Suyatmi Satari, dengan editor Bambang Sumadio. Tafsiran mereka terhadap isi prasasti Kedukan Bukit adalah sebagai berikut: Dapunta Hyang memulai perjalanan dari Minanga Tamwan, kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri.[5]

Dr. Buchari, ahli epigrafi terkemuka, memberikan penafsiran yang berbeda: Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga = muara = kuala = kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.[6]

Dr. Slametmulyana, ahli filologi ternama, berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya, dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slametmulyana mula-mula menyamakan Minanga Tamwan dengan Muara Tebo,[7] lalu dia berubah pendapat dengan melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.[8]


LOKASI SRIWIJAYA

Pendeta I-tsing (634-713), dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685 I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Selama di Sriwijaya dia menulis dua buah bukunya yang termasyhur, Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

Dalam kedua karyanya itu I-tsing memberikan informasi berharga mengenai letak dan keadaan Sriwijaya. Oleh karena dia lama berdiam di Sriwijaya, sudah tentu keterangannya sangat dapat dipercaya. I-tsing menyaksikan keadaan Sriwijaya dengan mata kepala sendiri. Uraian-uraiannya merupakan sumber berita dari tangan pertama. Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan I-tsing itu.[9]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri sebagai berikut: “Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India).”[10]

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut: “Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.[11]

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Malayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Malayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Malayu berlokasi di Jambi, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Jambi terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286 M) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Malayu.[12] I-tsing juga mengatakan bahwa Sriwijaya terletak di muara sungai yang besar.[13] Maka satu-satunya tempat yang memenuhi syarat sebagai lokasi negeri Sriwijaya adalah Palembang.

Ditinjau dari data arkeologi, pelokasian Sriwijaya di Palembang memperoleh pembuktian yang sangat kuat. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang: Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, lima buah pecahan prasasti, dan batu-batu mengenai ‘siddhayatra’. Pada salah satu pecahan prasasti terdapat keterangan mengenai pardatuan (istana raja). Yang lebih meyakinkan, prasasti Telaga Batu menyebutkan berbagai pembesar tinggi yang hanya mungkin ada di ibukota atau pusat pemerintahan suatu kerajaan, seperti putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.[14]

Ir. J.L. Moens, dalam karangannya Crivijaya, Yava en Kataha tahun 1937, melokasikan Sriwijaya di Muara Takus yang terletak pada garis khatulistiwa, berdasarkan uraian I-tsing bahwa di Sriwijaya orang yang berdiri pada tengah hari tidak mempunyai bayang-bayang.[15] Tetapi di Muara Takus tidak ada bukti arkeologis yang lebih kuat daripada di Palembang. Pernyataan I-tsing itu tidak harus berarti Sriwijaya pada lintang nol derajat, melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat, sebab terletak pada posisi tiga derajat lintang selatan (masih dekat dengan khatulistiwa). Patut diingat, I-tsing biasa hidup di negeri Cina di mana bayang-bayang tengah hari cukup panjang. Dapat difahami jika dia mengatakan di Sriwijaya (Palembang) tidak ada bayang-bayang tengah hari. Bahwa negeri Sriwijaya tidak terletak pada garis khatulistiwa, melainkan di selatan khatulistiwa, terbukti dari keterangan Al-Biruni yang menyatakan bahwa garis khatulistiwa terletak antara Kedah dan Sriwijaya.[16]

Pada tahun 1954, atas perintah Menteri PP&K Muhammad Yamin, Dinas Purbakala mengadakan penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa pada abad ketujuh Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Jambi mempunyai kedudukan yang lebih strategis dalam menguasai lalu lintas pelayaran. Kapal-kapal dari arah India, Cina dan Jawa harus melewati Jambi, sedangkan Palembang hanya dilewati kapal-kapal yang berlayar antara Selat Malaka dan Jawa. Lagi pula, letak pelabuhan Jambi menghadap ke laut bebas, sedangkan pelabuhan Palembang hanya menghadap ke Selat Bangka.[17]

Berdasarkan hasil penelitian itu Dr. Sukmono cenderung melokasikan Sriwijaya di Jambi. Kiranya pendapat Dr. Sukmono ini terlalu tergesa-gesa. Meskipun Jambi lebih strategis, tidaklah berarti Sriwijaya harus di Jambi, sebab tidak ada sumber sejarah yang mengatakan letak Sriwijaya strategis. Kata I-tsing, yang selalu disinggahi kapal-kapal adalah Malayu, bukan Sriwijaya. Jadi hasil penelitian geomorfologi itu justru membuktikan Jambi sebagai lokasi negeri Malayu!

Sewaktu Kerajaan Sriwijaya baru berdiri pada pertengahan abad ketujuh, negeri itu hanya sering disinggahi pendeta-pendeta Cina untuk urusan keagamaan. I-tsing mengatakan, pendeta Cina yang ingin mempelajari ajaran Buddha di India sebaiknya berdiam dulu di Sriwijaya untuk berlatih.[18] Ditinjau dari segi keagamaan Sriwijaya memang menonjol. Tetapi dari segi ekonomi dan perdagangan Sriwijaya tertinggal oleh Malayu dan Kedah yang letaknya strategis. Itulah sebabnya pada akhir abad ketujuh Sriwijaya melancarkan ekspansi teritorial untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis di Selat Malaka. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685, dia mengatakan bahwa Kedah dan Malayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya. Jelaslah bahwa dominasi Kerajaan Sriwijaya atas Selat Malaka bukanlah karena letak ibukotanya strategis, melainkan karena kerajaan itu mampu menguasai Malayu dan Kedah.

Kesimpulannya, ditinjau dari segi manapun (data arkeologi, uraian I-tsing, penelitian geomorfologi), tidak ada tempat lain yang cocok sebagai lokasi negeri Sriwijaya selain Palembang. Seperti kata Prof. Oliver William Wolters, “Srivijaya had its capital at Palembang and nowhere else. In support of this location, there is an impressive consistency between the epigraphic evidence and I-tsing’s records.[19]


“MARWUAT WANUA”

Banyak ahli sejarah yang mengartikan ungkapan “marwuat wanua” pada prasasti Kedukan Bukit dengan “membuat kota”, sehingga timbul anggapan bahwa pada tahun 682 Dapunta Hyang datang ke Palembang untuk membuat kota Sriwijaya. Padahal pada tahun 671 I-tsing telah singgah di Sriwijaya. Menurut Hsin-T’ang-shu (Sejarah Baru Dinasti Tang), Kerajaan Sriwijaya telah mengirimkan utusan ke Cina pada periode 670-673.[20] Hal ini berarti bahwa peristiwa “marwuat wanua” tahun 682 itu bukanlah menyatakan pembentukan negeri Sriwijaya.

Kata wanua memiliki arti ganda: kota (negeri) dan rumah (bangunan). Dalam beberapa bahasa daerah di Sumatera bagian selatan, sampai sekarang kata wanua berarti “rumah”, sering disingkat menjadi nua atau nuo. Prof. George Coedes, dalam karangannya Les Inscriptions Malaises de Crivijaya tahun 1930, memberikan arti: wanua = pays, royaume, forteresse (kota, kerajaan, rumah pertahanan).[21] Ketika Van Ronkel mula-mula menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit, dia mengartikan wanua dengan fortress (rumah pertahanan).[22] Jadi kalimat “marwuat wanua” dapat berarti membuat kota atau membuat rumah. Jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa kota Sriwijaya sudah ada pada tahun 671. Maka satu-satunya pilihan adalah mengartikannya membuat rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, yang isinya serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis: ... wihara ini, di wanua ini.[23] Jelaslah bahwa wanua (rumah) yang dibuat Dapunta Hyang tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).


PERSOALAN MINANGA

Prasasti Kedukan Bukit mengatakan pada tanggal 7 Jesta 604 (19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat (marlapas) dari Minanga. Oleh karena dia meninggalkan Minanga dengan tentara yang bersukacita, mudahlah disimpulkan bahwa Minanga merupakan daerah yang baru saja ditaklukkan Sriwijaya. Mereka berangkat dari Minanga dengan sukacita—karena baru menang perang—untuk kembali ke ibukota di Palembang.

Di manakah letak Minanga? Anggapan para penyusun Sejarah Nasional Indonesia Jilid II bahwa Minanga terletak di pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan bersumber pada pendapat Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Alasannya, tamwan berasal dari kata temu, lalu Purbatjaraka menafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”. Mengapa harus di Kampar, Purbatjaraka tidak memberikan alasan.[24] Pendapat ini dibantah dengan jitu oleh Prof. Dr. J.G. de Casparis yang membuktikan bahwa tamwan tidak ada hubungannya dengan temu, sebab kata yang terakhir ini sudah dipakai pada zaman Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuwo terdapat enam buah kata temu.[25] Penelitian para ahli bahasa menyatakan bahwa kata tamwan pada prasasti Kedukan Bukit bukanlah nama tempat, melainkan kata biasa yang sekarang menjadi tambahan, sebagaimana kata wulan, sariwu, wanyak dan marwuat menjadi bulan, seribu, banyak dan membuat.

Pendapat Dr. Buchari yang mengatakan Minanga adalah Batang Kuantan (minanga = muara = kuala = kuantan) juga perlu diragukan. Kata minanga tidak ada hubungannya dengan muara, sebab kata muara juga sudah dipakai pada zaman Sriwijaya.[26] Buchari sendiri mengakui bahwa di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis yang menunjang pendapatnya.[27]

Untuk menetapkan daerah yang cocok bagi lokasi Minanga, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
(1) Daerah tersebut namanya mirip dengan Minanga.
(2) Daerah itu menurut prasasti Kedukan Bukit berjarak kira-kira sebulan pelayaran dari Palembang.
(3) Daerah itu lokasinya harus strategis mengingat ekspansi Sriwijaya bertujuan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan.
(4) Pada daerah itu terdapat peninggalan arkeologis yang membuktikan bahwa daerah itu pernah berperan dalam sejarah.

Kiranya daerah yang cocok bagi pelokasian Minanga adalah Binanga yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur, seperti pendapat Dr. Slametmulyana. Daerah Binanga memenuhi persyaratan ditinjau dari segala aspek:
1. Pada abad ketujuh Binanga masih terletak di tepi laut.
2. Tempat itu ideal untuk mengawasi lalu lintas Selat Malaka.
3. Tempat itu dapat digunakan batu loncatan oleh armada Sriwijaya untuk menyerang Semenanjung. Seperti dikatakan I-tsing, pada tahun 685 (tiga tahun setelah penaklukan Minanga, 682) Kedah sudah ditaklukkan Sriwijaya.
4. Di daerah Padang Lawas, dekat Binanga, sampai kini terdapat biaro (wihara) Bahal, Sitopayan dan Sipamutung.[28] Ini berarti Binanga pernah berperan dalam sejarah.
5. Perubahan nama Minanga menjadi Binanga sangat mungkin terjadi, sebab fonem m dan b sama-sama huruf bibir (bilabial). Kata mawa dan marlapas pada prasasti Kedukan Bukit kini berubah menjadi bawa dan berlepas (berangkat).


KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh uraian di atas, isi prasasti Kedukan Bukit dapat ditafsirkan sebagai berikut:

Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk bergabung dengan tentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin laskarnya meninggalkan Minanga untuk pulang ke ibukota. Mereka bersukacita karena pulang dengan membawa kemenangan. Mereka mendarat di Muka Upang, sebelah timur Palembang, lalu menuju ibukota. Kemudian pada tanggal 5 Asada (16 Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua (bangunan) berupa wihara di ibukota sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira.

Boleh dipastikan bahwa pembuatan Taman Sriksetra pada tahun 606 Saka (684 Masehi), sebagaimana tercantum pada prasasti Talang Tuwo, masih merupakan rangkaian manifestasi rasa gembira akibat suksesnya siddhayatra (ekspedisi militer) dua tahun sebelumnya.

Oleh karena isi prasasti Kedukan Bukit (juga prasasti Talang Tuwo) menceritakan peristiwa penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, sudah sewajarnya prasasti itu ditempatkan di ibukota kerajaan. Dengan demikian, prasasti Kedukan Bukit memperkuat bukti bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berlokasi di Palembang.

Wallahu a`lam bish-shawab.


CATATAN:

[1] Philippus Samuel van Ronkel, “A Preliminary Notice Concerning Two Old Malay Inscriptions in Palembang”, Acta Orientalia, II, 1924, hh. 12-21.
[2] Dalam tarikh Saka, satu bulan dibagi dua bagian: suklapaksa (paroterang, dari awal bulan sampai purnama) dan kresnapaksa (parogelap, dari purnama sampai akhir bulan). Masing-masing bagian berjumlah 15 hari. Jadi tarikh Saka tidak mengenal tanggal 16. Lihat: Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Chronology, E.J. Brill, Leiden/Koln, 1978, hh. 48-50.
[3] Penyesuaian tarikh Saka ke tarikh Masehi diambil dari Louis-Charles Damais, “Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie”, BEFEO, tome 46, 1952, hh. 1-105.
[4] George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968, h. 82.
[5] Departemen P dan K, Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53.
[6] Buchari, “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hh. 26-28.
[7] Slametmulyana, “Perkembangan Penelitian Bahasa Nasional”, Research di Indonesia 1945-1965, Jilid IV, Departemen Urusan Research Nasional, Djakarta, 1965, hh. 131-132; Slametmulyana, Sriwidjaja, Nusa Indah, Ende, 1968, hh. 117-118.
[8] Slametmulyana, “Srivijaya’s Territorial Expansion in the 7th and 8th Centuries”, Majalah Arkeologi, II(3), Universitas Indonesia, Jakarta, 1979, hh. 60-61; Slametmulyana, Dari Holotan ke Jayakarta, Idayu, Jakarta, 1980, hh. 27-28; Slametmulyana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hh. 73-74.
[9] Kedua karya I-tsing masing-masing diterjemahkan oleh Junjiro Takakusu, A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London, 1896, dan oleh Edouard Chavannes, Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris, 1894. Cuplikan uraian I-tsing juga terdapat dalam karya Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, Bab “Textes Chinois”, serta karya Paul Wheatley, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, Bab “Towards the Holy Land”. Kemudian Oliver William Wolters dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, 1967, mengoreksi kekeliruan terjemahan Takakusu dan Chavannes.
[10] Chavannes, h. 119; Ferrand, h. 4; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 207-208.
[11] Takakusu, h. 34; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 227-228.
[12] R.Pitono Hardjowardojo, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Bhratara, Djakarta, 1966, hh. 36-38.
[13] Chavannes, h. 176; Ferrand, h. 6; Wolters, h. 226.
[14] George Coedes, “Les Inscriptions Malaises de Crivijaya”, BEFEO, tome 30, 1930, hh. 29-80; Johannes Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Masa Baru, Bandung, 1956, hh. 1-46.
[15] J.L. Moens, “Crivijaya, Yava en Kataha”, TBG, deel 77, 1937, h. 340.
[16] Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanan Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia). Paul Wheatley, h. 219, menerjemahkan keterangan Al-Biruni: “The equator runs between Kedah and Srivijaya”.
[17] R. Soekmono, “Tentang Lokalisasi Criwijaya”, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Jilid V, Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, hh. 243-264; serta “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, I(1), 1963, hh. 79-82.
[18] Takakusu, h. 34; Coedes, The Indianized States, h. 81.
[19] Wolters, h. 208. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Coedes, 1968, h. 92.
[20] Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, tome 4, 1904, h. 334.
[21] Coedes, 1930, h. 77.
[22] Van Ronkel, hh. 20-21.
[23] J.G. de Casparis, 1956, hh. 14-15.
[24] Poerbatjaraka, Riwajat Indonesia, I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, h. 35.
[25] J.G. de Casparis, 1956, h. 13. Lihat juga J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, E.J. Brill, Leiden/Koln, 1975, h. 26.
[26] Pada pecahan prasasti A baris ke-16 yang ditemukan di Palembang terdapat kata muara. Lihat: J.G. de Casparis, 1956, h. 5.
[27] Buchari, 1979, h. 28, mengatakan, “Memang di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis. Tapi kan di sana belum diadakan penggalian? Siapa tahu nanti ada kejutan di sana.”
[28] “Survay di Sumatera Utara”, Berita Penelitian Arkeologi, No. 4, 1976.

Datangnya Islam ke Indonesia

M E N E L U S U R I J E J A K
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

oleh
NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN



SUNGGUH merupakan sesuatu yang ironis bahwa Indonesia, yang kini memiliki umat Islam terbanyak di dunia, justru paling sedikit memiliki sumber-sumber sejarah tentang masuknya Islam ke negeri ini. Hal tersebut erat hubungannya dengan proses tersebarnya Islam di tanah air kita secara damai dan berangsur-angsur, serta umumnya penyebaran Islam itu dilakukan oleh para pedagang dan ulama yang jarang tercatat dalam sumber-sumber sejarah.[1] Di samping itu, terdapat kerancuan konseptual di kalangan sebagian ahli sejarah berupa pencampuradukan antara ‘kedatangan Islam’, ‘berkembangnya Islam’, dan ‘munculnya kerajaan Islam’.[2]

Penelitian ulama-ulama terhadap hadits merupakan contoh yang tepat tentang bagaimana seharusnya kita meneliti dan mengkritisi sumber-sumber sejarah. Sebagaimana halnya proses klasifikasi hadits, sumber-sumber sejarah dapat diseleksi ke dalam beberapa kategori: sahih (sangat dapat dipercaya), hasan (baik, dapat dipercaya), dan da`if (diragukan, masih harus dikonfirmasikan dengan berita lain yang lebih dipercaya). Sumber sejarah yang sahih adalah prasasti-prasasti, yaitu sumber sejarah yang tertulis di atas batu atau logam.[3] Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan pembacaan prasasti itu tidak keliru. Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan dalam prasasti. Sayangnya, jumlah prasasti yang menandai kedatangan Islam ke Nusantara dapat dihitung dengan jari, dan biasanya hanya berupa tulisan pada makam-makam kuno. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan musafir-musafir asing, terutama Cina, Arab, dan Eropa. Berita-berita asing ini merupakan sumber sejarah yang hasan, karena para musafir itu menyaksikan keadaan negeri-negeri di Nusantara dengan mata-kepala sendiri. Uraian-uraian mereka boleh dikatakan sumber berita dari tangan pertama sehingga cukup dapat dipercaya.[4]

Cerita-cerita rakyat berupa hikayat, babad dan kakawin merupakan sumber sejarah yang da`if, karena fakta sejarah yang dikandungnya bercampur dengan dongeng dan mitos sehingga tidak dapat diterima begitu saja. Kebenaran beritanya masih harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meskipun demikian, cerita-cerita rakyat itu tidak dapat diabaikan sebagai sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng itu sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh yang diceritakan. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bahwa Sultan Malik as-Saleh mempunyai nama kecil Merah Silu dan dilahirkan oleh seorang putri yang keluar dari pohon bambu. Tidak dapat dipastikan apakah nama kecilnya memang demikian, dan kisah putri dari pohon bambu itu sudah tentu dongeng semata. Namun tidak dapat disangkal bahwa Malik as-Saleh adalah tokoh sejarah, sebab ditemukan batu nisan yang menyebutkan namanya serta tahun wafatnya. Demikianlah hikayat itu disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi. Tugas para ahli sejarah adalah memisahkan mana yang fakta sejarah dan mana yang sekedar mitos.[5]


Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah

Hubungan Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa, dengan Timur Tengah telah berlangsung sejak zaman sebelum Islam. Sebuah naskah Yunani, Periplous tes Erythras Thalasses, yang ditulis tahun 70 M, sudah menyebutkan Sumatera dengan nama Chrysenesos (Pulau Emas).[6] Sejak zaman purba para pedagang dari kawasan Mediterrania sudah mendatangi tanah air kita. Di samping mencari emas, mereka mencari tumbuh-tumbuhan yang saat itu hanya dijumpai di Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica).[7] Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi, sebagaimana hasil penelitian Dr. J. Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama Masehi.[8] Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari bahasa Arab, luban jawi, yang artinya “kemenyan Jawa”. Nama Latin untuk kapur barus, caphurae, berasal dari nama Arab, kafur, yang diambil dari kata Melayu, kapur. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya.[9] Semua ini membuktikan bahwa barang-barang dari tanah air kita sudah dikenal oleh bangsa-bangsa di sekitar Laut Tengah, termasuk bangsa Arab, sejak zaman purba.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-Raja) fasal 9, tercantum keterangan bahwa para pengikut raja negeri Tirus, Hiram, berlayar ke daerah Ophir untuk mencari emas, lalu Hiram mempersembahkan 420 talenta emas kepada raja Isra’il, Nabi Sulaiman a.s. Banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa daerah Ophir terletak di Sumatera yang saat itu disebut Pulau Emas (Suwarnadwipa, diarabkan menjadi Suwarandib).[10] Juga dalam kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ ayat 81, tercantum firman Allah bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardhi l-lati barak-Na fiha). Tidaklah mustahil bahwa tanah yang diberkati Allah itu adalah salah satu daerah Nusantara!

Kini kita meninjau berita-berita Cina. Dua buah sumber sejarah yang menyinggung masalah kedatangan Islam ke Nusantara adalah Hsin-Tang-shu (Catatan Dinasti Tang, 618–907) serta Chu-fan-chi (Catatan Negeri-Negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225.[11] Dua kronik Cina di atas banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab.[12] Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina.[13] Boleh dipastikan bahwa nama ini adalah ucapan Cina untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656.

Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[14] Sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa daerah yang dimaksudkan adalah Barus, penghasil kapur barus yang termasyhur itu.[15] Hsin-Tang-shu juga memberitakan bahwa pada tahun 674-675 raja Ta-shi mengirimkan utusan ke negeri Ho-ling yang terletak di pulau She-po.[16] Telah disepakati oleh para ahli sejarah bahwa “She-po” adalah transliterasi Cina dari nama Jawa.[17]

Lokasi negeri Ho-ling serta nama asli negeri itu sampai kini masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah. Yang jelas, negeri itu pasti terletak di Jawa.[18] Prof. Dr. Gabriel Ferrand berpendapat bahwa raja Ta-shi itu mungkin Mu`awiyah ibn Abi Sufyan, khalifah Bani Umayyah di Damaskus, sebab tahun pengiriman utusan ke Jawa itu bertepatan dengan masa pemerintahan Mu`awiyah (661–680).[19] Prof. Dr. Hamka juga berpendapat serupa, dengan alasan bahwa Mu`awiyah merupakan khalifah yang mula-mula mendirikan armada laut dan memiliki kegemaran mengirimkan penyelidik ke negeri-negeri lain.[20]

Meskipun kedatangan utusan Mu`awiyah ke Jawa itu belum dapat kita jadikan titik-tolak masuknya Islam ke Indonesia, tidaklah dapat disangkal bahwa pada abad pertama Hijriyah negeri-negeri di Asia Tenggara telah ramai dikunjungi para pedagang dan musafir dari Timur Tengah, bahkan di setiap pelabuhan ada pemukiman para pedagang Muslim.[21] Ibnu Faqih yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 (290 H) menulis dalam Kitab al-Buldan: “Di Sriwijaya kita dapat mendengar bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, di samping bahasa pribuminya sendiri, Melayu”.[22] Para pedagang dan musafir Islam itu mungkin sempat mendakwahkan Islam kepada penduduk setempat, sebab setiap Muslim mempunyai kewajiban berdakwah menurut kemampuan masing-masing. Barangkali sejak abad ketujuh atau kedelapan, agama Islam telah dipeluk oleh sebagian kecil penduduk Nusantara, terutama di daerah pesisir yang berada pada jalur lalu lintas perdagangan. Prof.Dr.Thomas Walker Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, mengatakan: “It is impossible to fix the precise date of the Islam into the Malay Archipelago. It may have been carried by Arab traders in the early centuries of the Hijrah, long before we have any historical notices of such influences being at work. This supposition is rendered the more probable by the knowledge we have of the extencive commerce with the East carried on by the Arab from very early time.[23]


Peureulak dan Samudera-Pasai

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[24]

Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[25] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.[26]

Pada akhir abad ke-13 kedaulatan Peureulak berakhir, digantikan oleh kesultanan yang lebih populer, yaitu Samudera-Pasai. Mengenai Samudera-Pasai para ahli sejarah tidak banyak berdebat. Di daerah Pasai terdapat makam sultan-sultannya yang dilengkapi batu nisan bertuliskan nama-nama sultan serta tahun wafat masing-masing. Sultan yang pertama adalah Malik as-Saleh yang wafat tahun 696 H (1297 M).[27]

Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.[28] Informasi mengenai mazhab Syafi`i ini sangat penting, sebab membuktikan bahwa Islam di Indonesia berasal langsung dari Arab, bukan dari Gujarat atau daerah India lainnya yang bermazhab Hanafi! Perlu juga dicatat bahwa nama Samatrah dalam kitab Rihlah karya Ibn Batuthah ini kemudian disalin oleh Niccolo da Ponti dari Italia serta Antonio Pigafetta dari Portugis menjadi Sumatra, dan lama-kelamaan orang-orang Eropa menggunakan nama Sumatra untuk menyebutkan seluruh pulau.[29]


Perkembangan Islam di Jawa

Bukti historis mengenai keberadaan masyarakat Islam di Jawa baru terdapat pada abad ke-11. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan batu nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya seseorang bernama Fatimah binti Maimun pada tanggal 7 Rajab 475 H.[30] Menurut tarikh Masehi, titimangsanya 2 Desember 1082.[31] Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Muslim sudah eksis di Jawa Timur pada zaman Kerajaan Kadiri (Panjalu). Menurut penelitian Prof.Dr.Sutjipto Wirjosuparto, beberapa kata Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacashraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga Kadiri pada awal abad ke-12.[32]

Menurut Chu-fan-chi (1225), negeri Pu-chia-lung (Panjalu) ramai dikunjungi para pedagang Muslim. Ketika menerjemahkan Chu-fan-chi, Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill dalam catatan kaki mengutip hasil penelitian John Crawfurd bahwa semua mata uang kuno yang ditemukan di pesisir utara Jawa Timur tertulis dalam huruf Arab.[33] Kenyataan ini menunjukkan aktivitas pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur.

Pada abad ke-13 dan ke-14, masyarakat Islam di Jawa Timur makin berkembang. Pemakaman Muslim kuno di Tralaya (lokasi ibukota Majapahit) dipenuhi batu-batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan banyak yang dilengkapi dengan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an. Makam-makam kuno di Tralaya ini telah diteliti tahun-tahunnya oleh Prof. Dr. Louis-Charles Damais. Meskipun memakai huruf Arab, makam-makam itu umumnya menggunakan tarikh Saka. Hanya ada satu nisan yang bertarikh Hijriyah, yaitu 874 H. Terdapat tiga makam yang sezaman dengan raja Hayam Wuruk (memerintah 1350–1389), masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380).[34] Fakta ini membuktikan bahwa agama Islam sudah dipeluk oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.

Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448 M) dikenal masyarakat sebagai makam “Putri Cempa” yang beragama Islam dan permaisuri Brawijaya (singkatan dari Batara Wijaya, gelar umum raja-raja Majapahit). Tahun wafatnya Putri Cempa itu berada dalam masa pemerintahan raja Kertawijaya (1447–1451). Mungkin Putri Cempa tersebut adalah selir Kertawijaya, bukan permaisuri, sebab prasasti Waringin Pitu tahun 1369 Saka (1447 M) jelas menyebutkan bahwa permaisuri Kertawijaya adalah sepupunya sendiri, Jayeswari.[35]

Di manakah letak “Cempa”, daerah asal sang putri? Banyak ahli sejarah yang mengatakannya di Champa, Kamboja. Tetapi penelitian Georges Maspero menunjukkan bahwa tidak ada bukti Islam pernah berkembang di Champa.[36] Besar kemungkinan daerah yang dimaksudkan adalah Jeumpa di Aceh, sebagaimana dikemukakan Dr. Gerret Pieter Rouffaer.[37] Menurut Babad Tanah Jawi, banyak putra Jawa yang menuntut ilmu agama Islam di Cempa (maguru agama rasul ring cempa nagari). Tidak dapat disangkal peranan Aceh pada abad ke-13 dan ke-14 sebagai pusat kegiatan dan penyebaran Islam.***


Catatan:

[1] Arnold Joseph Toynbee, Mankind and Mother Earth, London, 1978, h. 508, mencatat : “In continental and insular Southeast Asia, Islamic rule was not imposed by force of arms. Islam spread here through its voluntary adoption by native rulers and their subjects”.
[2] Gerardus Willebrordus Joannes Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?”, BKI, 124, 1968, hh. 433-459.
[3] Buchari, “Epigraphy and Indonesian Historiography”, dalam Soedjatmoko et al, An Introduction to Indonesian Historiography, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1965, hh. 47-73.
[4] Tjan Tjoe Som, “Chinese Historical Sources and Historiography”, dalam Soedjatmoko et al, idem, hh. 194-205.
[5] Hoesein Djajadiningrat, “Local Traditions and the Study of Indonesian History”, dalam Soedjatmoko et al, idem, hh. 74-85.
[6] A. Christie, “An Obscure Passage from the Periplus”, BSOAS, 19, 1957, h. 345.
[7] Gerald Randall Tibbetts, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia”, JMBRAS, 29, 1956, hh. 182-208.
[8] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”.
[9] Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8.
[10] William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975, h. 3.
[11] Hsin-Tang-shu diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hh. 132-413. Chu-fan-chi diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911.
[12] Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas). Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124.
[13] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119.
[14] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[15] Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical Foundation, Jakarta, 1974, h. 16. Begitu populernya daerah Barus di zaman purba, sehingga negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) tercatat dalam naskah Geographike Hyphegesis yang ditulis oleh ahli geografi Yunani abad kedua, Klaudios Ptolemaios (87–168). Lihat: W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1.
[16] Paul Pelliot, h. 297.
[17] Mengenai peralihan bunyi Jawa menjadi She-po, lihat Paul Pelliot, hh. 279-295, serta F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 78-79.
[18] Louis-Charles Damais berpendapat bahwa Ho-ling transliterasi dari Walaing, sedangkan W. J. van der Meulen menyarankan nama itu transliterasi dari Paryang (Dieng). Oliver W.Wolters menduga letak Ho-ling di Jawa Barat, dan Slametmulyana mencari lokasi Ho-ling di daerah Keling, lembah Kali Brantas. Tetapi semuanya sepakat bahwa Ho-ling harus dicari di Pulau Jawa.
[19] Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, h. 37.
[20] Hamka, Sedjarah Umat Islam, IV, Nusantara, Djakarta, 1961, h. 18.
[21] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages et Textes Geographique Arabes, Persans et Turks Relatifs a l’Extreme-Orient, dua jilid, Ernest Leroux, Paris, 1913-1914.
[22] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., I, 1913, hh. 56-57.
[23] Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935, h. 363.
[24] Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95.
[25] F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
[26] Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
[27] Jean Pierre Moquette, “De Oudste Vorsten van Samudra-Pase”, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, 1913, hh. 1-12.
[28] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., II, 1914, hh. 440-450.
[29] Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, BKI, 100, 1941.
[30] Paul Ravaisse, “L’Inscription Coufique de Leran a Java”, TBG, 65, 1925, hh. 668-703.
[31] Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Chronology, E.J. Brill, Leiden, 1978, h. 34.
[32] Lihat tesis Prof.Dr.Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Ghatotkacashraya, Universitas Indonesia, 1960. Juga lihat: J. U. Nasution, “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna Ditinjau dari Segi Sastra”, Majalah Sastra Horison, XI / 4, April 1976.
[33] F. Hirth dan W.W.Rockhill, h. 75.
[34] Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: Les Tombes Musulmanes Datees de Tralaya”, BEFEO, 48, 1957, hh. 353-415.
[35] Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, BKI , 134, 1978, h. 212.
[36] Georges Maspero, Le Royaume de Champa, Imprimerie Nationale, Paris, 1928.
37 Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, IV, Leiden, 1899-1905, h. 205.

Resensi di Majalah TEMPO

Kumpulan Resensi Buku di Majalah TEMPO
oleh Nia Kurnia Sholihat Irfan:


TEMPO, 21 Juni 1980

BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT:ISLAM INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Harry Jundrich Benda (terjemahan Daniel Dhakidae)
Pustaka Jaya, Jakarta, 1980, 344 halaman

SEJARAH Islam Indonesia relatif tidak mendapat perhatian, bahkan tidak jarang para sarjana memberikan tempat lebih kecil kepada gerakan-gerakan Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Demikian konstatasi Prof. Dr. Harry Jundrich Benda dalam pengantar bukunya The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague, 1958), yang terjemahannya kini kita bicarakan.

Prof.Benda yang wafat tahun 1972 pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Yale, Amerika Serikat. Karyanya ini merupakan sumbangan sangat berharga bagi penulisan sejarah Indonesia terutama periode mutakhir. Bagian Pertama, "Warisan Kolonial" (tiga bab), merupakan uraian situasi Indonesia, khususnya umat Islam, pada masa-masa terakhir kekuasaan Belanda. Pokok permasalahan diuraikan pada Bagian Kedua, "Pendudukan Jepang" (lima bab).

Dalam Bab Satu, "Dasar-dasar Politik Belanda terhadap Islam", Prof.Benda mengklasifikasi masyarakat Islam Indonesia dalam tiga kelompok yang disarankan Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java (Chicago, 1955), yaitu abangan, priyayi, dan santri. Dia juga menguraikan ulasan politik Belanda terhadap Islam yang dirumuskan Christiaan Snouck Hurgronye. Meskipun klasifikasi Geertz mengandung kelemahan dan mengundang kritik (antara lain Harsya Wardana Bachtiar, “The Religion of Java: A Commentary”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, V(1), 1973), kenyataannya kelompok priyayi perlu ditinjau secara khusus, setidak-tidaknya dalam pembahasan mengenai pandangan Snouck tentang Islam. Snouck merekomendasikan bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priyayi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya (geemancipeerd van het Islam stelsel).

Prof.Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik (h. 44). Sebenarnya Snouck melihat Islam memiliki tiga aspek: sebagai religi (godsdienstig), sebagai sistem sosial kemasyarakatan (maatschappelijk), dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig). Dalam rekomendasinya kepada pemerintah Belanda Snouck menyarankan agar terhadap yang pertama pemerintah bersikap netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang kedua, pemerintah memberikan kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai upaya ‘mengambil hati umat Islam’. Tetapi terhadap yang ketiga, Snouck mengharap pemerintah jangan sekali-kali memberikan toleransi dan harus selalu siaga untuk menumpasnya. Kenyataannya, buah fikiran Snouck ini turut mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan ‘politik etis’.

Pemisahan yang dilakukan Snouck antara agama dan politik dalam Islam, menurut Prof. Benda tidak realistis, bahkan tidak mencerminkan sifat universal agama ini. Pemisahan agama dan politik, kata Prof. Benda, hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam masa kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat berlangsung lama (hh. 50-51).

Ketidaktepatan tafsiran Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua, "Renesans Islam Indonesia". Pengarang menguraikan kebangkitan Islam yang dinamis, sehingga pada awal abad ke-20 Islam Indonesia tumbuh lebih luas daripada batasan abad ke-19 yang menjadi dasar analisis dan rekomendasi Snouck. Gema pemikiran para reformis Islam di Timur Tengah, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Pada gilirannya gerakan-gerakan reformis ini menimbulkan reaksi baru dalam bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang dipelopori Nahdatul Ulama.

Sesungguhnya sejak tahun 1930-an sudah muncul peringatan-peringatan terhadap politik Belanda. Misalnya Prof. George Henri Bousquet dari Perancis, yang menilai pemerintah Belanda terlalu lemah menghadapi Islam dan meremehkan ‘bahaya politik’ yang dikandung gerakan sosio-religius seperti Muhammadiyah (lihat: M. Natsir, “Oleh-oleh dari Algiers”, Capita Selecta, Vol.1, 1955). Namun api telah terlalu menjalar sehingga sukar dipadamkan. “Kekurangpahaman tentang gerakan pembaharuan Islam menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam menjadi impoten,” komentar Prof. Dr. Willem Frederik Wertheim yang turut memberikan Kata Pengantar dalam buku Prof. Benda ini. Juga perlu kita garisbawahi bahwa Jong Islamieten Bond yang didirikan H. Agus Salim dan kawan-kawannya tahun 1925 memberikan fenomena baru yang barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu munculnya para modernis Islam dari kalangan priyayi!

Dalam Bab Tiga, "Tantangan dan Jawaban", Prof. Benda mengungkapkan bertambah mantapnya gerakan Islam, dengan bersatunya kelompok modernis dan kelompok tradisionalis dalam wadah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada bulan September 1937. Dibayangi ketakutan perang melawan Jepang, Belanda mulai menyadari kebutuhan memperoleh sekutu di kalangan Islam. Hal ini ditandai dengan membuka Sekolah Penghulu di Jawa Barat, subsidi yang cukup besar bagi jemaah haji, serta perangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah. Namun keharusan sejarah agaknya tak dapat ditahan. “Matahari Terbit” melanda Nusantara dan menghapuskan Hindia Belanda.

Bagian Kedua karya Prof. Benda, terdiri atas lima bab, membahas masa pendudukan Jepang, sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini dicatat dari sumber tangan pertama, terutama dari harian berbahasa Indonesia dan dari berkala tahun-tahun tersebut. Masuknya Jepang ke Indonesia membuka era baru dalam tingkah laku politisi Indonsia. Jika di zaman Belanda penjara dan pembuangan merupakan hukuman paling kejam, di zaman Jepang penyiksaan dan kematian dijatuhkan bagi mereka yang dicurigai tidak taat. Jika di zaman Belanda dikenal istilah 'kooperasi dan non-kooperasi', di zaman Jepang perbendaharaan istilah politik bertambah dengan 'kolaborasi'. Dan rupanya Jepang telah merumuskan politiknya terhadap Islam jauh hari sebelumnya.

Sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. Pada November 1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di Tokyo dan Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera seusai kongres, seorang ahli Islam, Prof. Kanaya, berangkat ke Indonesia untuk memperkuat ikatan umat Islam kedua bangsa. Sesudah Jepang menduduki Indonesia, pendekatan terhadap Islam Indonesia terus gencar: menekankan persamaan Shinto dan Islam mengenai konsep hakkoichiu (‘persaudaraan sejagad’), silaturahmi dengan para pemuka MIAI, membuka Kantor Urusan Agama (Shumubu), menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des Indes yang mewah, dan menampilkan ‘haji-haji Tokyo’ seperti Abdulhamid Ono, Abdulmunim Inada, Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf Saze. Bahkan ada tentara Jepang yang ikut bersembahyang di mesjid-mesjid! Jika organisasi lain tak diizinkan membuat majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943 diizinkan terbit.

Para tokoh Islam mempunyai senjata moral dengan mengemukakan prasyarat kerjasama dengan ‘penyembah berhala’ itu: asalkan agama Islam tidak diganggu. Maka terjadilah permainan ‘kucing-kucingan’ para tokoh Islam yang mencoba mengambil manfaat dari ‘kerjasama’ itu. Prof. Benda mengemukakan bahwa pada zaman Jepang elite Islam memperoleh bagian yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh pada zaman Belanda (h.169). Kaum Muslimin juga berperan dalam pembentukan tentara lokal. Pada Juli 1943 para kiai dilatih kemiliteran di Jakarta, dan latihan korps perwira Indonesia, Oktober 1943, melibatkan jumlah kiai yang cukup besar.

Menurut Prof. Benda, kelompok Islam mendapat dukungan yang jauh lebih besar di desa-desa dibandingkan dengan kaum nasionalis ‘sekuler’. Itulah sebabnya ketika mendirikan angkatan bersenjata Indonesia yang pertama, penguasa Jepang memalingkan muka kepada Islam. Bendera Peta bukanlah Merah-Putih, melainkan Bulan-Sabit di atas Matahari-Terbit, melukiskan perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis Barat yang Kristen (hh. 174-175).

Sangat menarik mengikuti bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI. Shumubu sering melangkahi MIAI dalam mendekati para ulama. Usaha para pemimpin MIAI untuk mengadakan rapat umum tidak diizinkan. Meskipun MIAI berhasil mengusahakan berdirinya Baitul-Mal, organisasi itu terus dikuras sehingga yang tinggal hanya kantor pusatnya di Jakarta. Akhirnya, September 1943, pemerintah pendudukan Jepang memberikan status hukum kepada Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama beserta cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan kemudian MIAI terpaksa bubar.

Sebagai pengganti MIAI, dibentuk wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia, dengan singkatan Masyumi yang mirip-mirip nama Jepang, dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai tulang punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi mempunyai keanggotaan yang meyakinkan di seluruh Jawa. Menurut Prof. Benda, Jepang tetap mengharapkan penggalangan kaum Muslimin demi tujuannya (h. 216). Pendekatan Jepang ini dimanfaatkan pula oleh Masyumi untuk membentuk pasukan Hizbullah (Laskar Allah) pada bulan Januari 1945.

Bahkan sampai saat-saat terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha menarik Bulan Sabit ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945 Gunseikan memutuskan hari Jumat libur setengah hari bagi kantor pemerintah. Pada 11 Juni, Al-Qur’an dicetak pertama kalinya di bumi Indonesia. Dan pada 8 Juli, Universitas Islam Indonesia didirikan dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua. Setelah proklamasi kemerdekaan, universitas ini dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.

Sayang sekali kita tidak menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli 1945 dengan cukup mendetil dalam buku ini. Padahal, bulan-bulan itu penuh dengan kejadian yang menentukan ‘posisi’ Islam dalam zaman Indonesia merdeka. Betapa gigihnya para tokoh Islam dalam Dokuritsu Junbi Cosakai memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para tokoh nasionalis ‘sekuler’ menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai titik kesepakatan.

Kekurangan buku Prof. Benda ini adalah hanya membahas perkembangan Islam di Jawa. Terhadap terjemahan Daniel Dhakidae patut kita acungkan jempol. Sayangnya penerjemah tidak sedikit pun memberikan informasi siapa Prof. Dr. Harry Jundrich Benda. Dan alangkah baiknya jika buku ini dilengkapi dengan indeks.

Akhirnya, ada baiknya kita merenungkan kata pengantar W. F. Wertheim dalam permulaan buku ini. Kekuatan-kekuatan yang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan politiknya, tulis guru besar Universitas Amsterdam itu, pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan kekuatan tersebut. Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun!***


TEMPO, 25 April 1981

KUNTALA, SRIWIJAYA DAN SUWARNABHUMI
Prof.Dr.Slametmulyana
Idayu, Jakarta, 1981, 356 halaman

KERAJAAN Sriwijaya kebanggaan masa silam Indonesia. Kekuasaannya melampaui batas geografis tanah air kita, berabad-abad mendominasi pelayaran dan perdagangan antarbangsa, satu-satunya negara Asia Tenggara abad tengah yang banyak diberitakan kronik Arab dan Cina. Namun penyusunan sejarahnya belum tuntas. Maklum Sriwijaya baru dikenal dalam historiografi modern pada tahun 1918, berkat tulisan George Coedes, Le Royaume de Crivijaya.

Kronik Cina abad ke-7 dan ke-8 memberitakan negeri atau kerajaan di ‘laut selatan’ bernama Shih-li-fo-shih. Kronik abad ke-9 sampai ke-14 memberitakan negeri San-fo-tsi. Berdasarkan beberapa prasasti yang menyebut nama ‘Sriwijaya’, Coedes mengidentifikasi Sriwijaya sebagai nama negeri dan kerajaan yang ditransliterasikan menjadi Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi. Dan lahirlah teori: Kerajaan Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 sampai ke-14.

Buku terbaru Prof.Dr.Slametmulyana ini, bekas dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, banyak memberikan sumbangan berharga bagi penyusunan sejarah Sriwijaya. Karya filolog terkemuka ini diharapkan dapat merangsang pemikiran baru.

Dengan argumentasi meyakinkan, pengarang melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan Malayu.

Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.

Ini perlu ditegaskan karena para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II, Zaman Kuna) —buku standar dari Dep. P&K— terlalu gegabah menjatuhkan vonis: ibukota Sriwijaya bukan di Palembang. Mereka kiranya wajib meruntuhkan argumentasi Prof. Slametmulyana.

Pengarang juga menguraikan perluasan wilayah Sriwijaya berdasarkan prasasti-prasasti dan uraian I-tsing. Akhir abad ke-7, raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaklukkan Bangka, Lampung, Malayu (Jambi), Sumatera Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti Kota Kapur (Bangka) menyebutkan pada 686 tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Jawa. Menurut pengarang, yang ditaklukkan adalah Jawa Barat, terbukti dari adanya prasasti berbahasa Melayu di Bogor. Prasasti Sriwijaya memang berbahasa Melayu, dan tak mungkin raja Jawa atau Sunda mengeluarkan prasasti dengan bahasa itu. Tapi mengapakah pengarang ragu menyimpulkan bahwa Jawa Tengah pun pernah dikuasai Sriwijaya?

Di Jawa Tengah banyak prasasti berbahasa Melayu: Sojomerto, Gandasuli, Dieng, Bukateja, Candi Sewu. Prasasti Sojomerto (ditemukan tahun 1963) menyebut Dapunta Selendra, pendiri Wangsa Sailendra. Gelar ini sama dengan gelar raja Sriwijaya, Dapunta Hyang. Prasasti Gandasuli menyebut pembesar Sailendra bergelar Sida, gelar yang tak dimiliki pembesar Jawa. Yang jelas, itu adalah gelar pembesar Sriwijaya seperti tercantum pada prasasti di Palembang (Johannes Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, 1956, h.5). Pengarang mengatakan Dapunta Selendra berasal dari Sumatera Selatan (h.148). Seharusnya pengarang lebih tegas mengatakannya dari Sriwijaya. Tumbuhnya Wangsa Sailendra di Jawa Tengah abad ke-8 berkat penaklukan daerah ini oleh Sriwijaya. Tidak mustahil, Dapunta Selendra adalah salah seorang keturunan Dapunta Hyang yang diberi daerah kekuasaan di Jawa Tengah.

Prasasti Nalanda (860) menyebutkan bahwa Balaputradewa raja Suwarnadwipa adalah keturunan Sailendra dari Jawa. Dari prasasti Siwagreha (856) diketahui bahwa Balaputra mengungsi dari Jawa lantaran kalah perang melawan Wangsa Sanjaya. Sangat mustahil seorang pengungsi dari Jawa diterima orang Sriwijaya menjadi raja jika tak ada hubungan famili! Para ahli sejarah seperti George Coedes, Frederik David Kan Bosch, Muhammad Yamin, Oliver William Wolters, menduga ibu Balaputra adalah putri Sriwijaya. Tapi tak ada sumber sejarah mengatakan demikian. Kiranya alasan yang tepat adalah bahwa Wangsa Sailendra berasal dari Sriwijaya. Jadi Balaputradewa kembali ke daerah nenek moyangnya. Wajar jika ia memiliki hak atas tahta Sriwijaya.

Tapi Prof. Slamet membuat ‘teori baru’ dalam bukunya ini. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-8 karena ditaklukkan Wangsa Sailendra. Lalu Balaputradewa mendirikan kerajaan baru pada abad ke-9 di Jambi bernama Suwarnadwipa. Nama ini bersinonim dengan Suwarnabhumi yang ditransliterasikan San-fo-tsi dalam kronik Cina.

Teori Prof. Slamet bertentangan dengan sumber sejarah yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya masih ada pada abad ke-11. Prasasti di India yang dikenal dengan Piagam Leiden menyebutkan raja Sriwijaya tahun 1006 bernama Sri Marawijayatunggawarman, putra raja Sri Cudamaniwarman keluarga Sailendra. Sudah tentu raja ini keturunan Balaputradewa. Konsekuensinya, Suwarnadwipa pada prasasti Nalanda adalah Kerajaan Sriwijaya. Kedua nama raja Sriwijaya dalam Piagam Leiden cocok dengan nama-nama raja San-fo-tsi, Se-li-chu-la-wu-ni dan Se-li-ma-la-pi, dalam kronik Sung-shih (Sejarah Dinasti Sung). Tahunnya pun cocok. Jadi San-fo-tsi yang diberitakan kronik Sung-shih adalah Kerajaan Sriwijaya.

Untuk menutupi kelemahan teorinya, pengarang mengatakan Piagam Leiden itu menyesatkan karena, katanya, bertentangan dengan berita Al-Mas`udi bahwa Sriwijaya merupakan negeri bawahan (h.182). Entah buku Al-Mas`udi mana yang dibaca pengarang. Yang jelas, Abu Hasan Al-Mas`udi dalam catatannya Murujuz-Zahab wa Ma’adinul-Jawhar (943) tak pernah mengatakan demikian. Justru dari keterangan Al-Mas`udi dan musafir-musafir Arab lainnya kita mengetahui bahwa negeri paling utama di Asia Tenggara abad ke-10 adalah Sriwijaya.

Namun saya sependapat dengan pengarang bahwa San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi (Catatan Negeri Asing, ditulis oleh Chau Ju-kua pada 1225) bukanlah Kerajaan Sriwijaya-Palembang, melainkan Kerajaan Malayu-Jambi (hh.188-189). Chu-fan-chi mengatakan Palembang sebagai negeri bawahan San-fo-tsi. Uraian Chu-fan-chi tentang pelabuhan San-fo-tsi sama dengan uraian I-tsing tentang Malayu dan cocok dengan penelitian geomorfologi tentang Jambi.

Jadi ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau Sumatera bernama Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, artinya ‘pulau emas’. Kiranya Prof. Slamet benar ketika mengidentifikasi nama San-fo-tsi dengan Suwarnabhumi. Tapi beliau lupa bahwa itu nama pulau. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut San-fo-tsi karena memang terletak di Sumatera. Seperti halnya kerajaan-kerajaan di Jawa disebut She-po (transliterasi dari nama Jawa).

Adapun runtuhnya Sriwijaya bisa dilacak sebagai berikut. Setelah kerajaan itu lumpuh akibat serangan Cola pada 1025 (prasasti Tanjore), negeri Malayu yang sejak abad ke-7 menjadi bawahannya bangkit kembali. Kronik Ling-wai-tai-ta mencatat utusan Jambi ke Cina pada 1079, 1082, 1088. Sepanjang abad ke-12 kiranya Malayu merebut banyak daerah dari tangan Sriwijaya yang kian lemah. Pada 1183 kekuasaan Malayu telah sampai ke Semenanjung Malaka (prasasti Grahi). Menurut Sung-shih, utusan terakhir Sriwijaya ke Cina datang pada 1178. Tiba-tiba kronik Chu-fan-chi tahun 1225 mencatat Palembang sebagai bawahan Malayu. Boleh dipastikan, Kerajaan Sriwijaya runtuh akhir abad ke-12 atau sekitar tahun 1200 (antara 1178 dan 1225) karena ditaklukkan oleh Kerajaan Malayu! Ini merupakan antitesis terhadap teori Prof. Slamet yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-8. Sekaligus antitesis terhadap pendapat umum ahli sejarah yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-14.

Jadi yang disebut San-fo-tsi abad ke-13 dan ke-14 adalah Kerajaan Malayu. Kitab Nagarakretagama (1365) pupuh XIII menyebutkan seluruh daerah di Sumatera sebagai ‘Bhumi Malayu’. Selama ini ahli sejarah menganggap San-fo-tsi sinonim dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Akibatnya kebesaran Kerajaan Malayu tidak mendapat tempat dalam buku sejarah. Malayu yang jaya abad ke-13 disangka Sriwijaya.

Prof. Sukmono melokasikan Sriwijaya di Jambi lantaran banyak berita San-fo-tsi yang cocok untuk Jambi (Tentang Lokalisasi Sriwijaya, 1958). Prof. George Coedes yang melokasikan Sriwijaya di Palembang masih perlu menulis: Whether it had its center at Palembang or at Jambi... (The Indianized States of Southeast Asia, 1968, h.179). Prof. Oliver William Wolters dalam dua bukunya, Early Indonesian Commerce (1967) dan The Fall of Srivijaya (1970), menduga ibukota Sriwijaya mula-mula di Palembang lalu pindah ke Jambi. San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi diartikannya ‘Srivijaya, now meaning Malayu-Jambi’. Kalimat Wolters ini jelas aneh, sebab bagaimanapun Sriwijaya dan Malayu dua kerajaan yang berbeda, tak boleh disamakan begitu saja. Semua kesimpangsiuran di atas lantaran satu sebab: mereka menganggap berita-berita San-fo-tsi selalu menyatakan Sriwijaya.

Sejarah Dinasti Ming abad ke-14 mengatakan ‘San-fo-tsi dahulu disebut Kan-to-li’. Kan-to-li adalah negeri abad ke-5 sebelum Malayu dan Sriwijaya. Karena San-fo-tsi zaman Ming adalah Malayu, lokasi Kan-to-li tentu di Jambi. Perlu dicatat, banyak nama tempat yang berasal dari nama tempat di India. Huruf prasasti di Asia Tenggara serupa dengan di Kuntala, dekat Mysore (J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, 1975, h.13). Pendapat Prof. Slamet sungguh menarik dan patut dipertimbangkan: nama Kuntala (Kuntali) diambil sebagai nama negeri di Jambi abad ke-5 yang ditransliterasikan Kan-to-li. Lama-kelamaan nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi.***


TEMPO, 27 November 1982

A HISTORY OF MODERN INDONESIA
Merle Calvin Ricklefs
Macmillan, London, 1981, 335 halaman

PENULISAN sejarah Indonesia memasuki perspektif baru tatkala Jacob Cornelis van Leur (1908-1942), dalam disertasi doktoralnya di Leiden tahun 1934, mengkritik pandangan Eropa-sentris dalam penyusunan sejarah. Pada tahun 1939, dikecamnya pula buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie susunan Frederik Willem Stapel, yang memandang Indonesia semata-mata “dari dek kapal, jendela loji dan anjungan rumah dagang” (J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, 1955).

Sejak itu para ahli sejarah menyadari pentingnya rekonstruksi historiografi tanah air kita dengan menekankan aspek-aspek bangsa Indonesia sendiri, sehingga sejarah Indonesia tidak identik dengan kisah kegiatan kolonial (Willem Philippus Coolhaas, A Critical Survey of Studies on Dutch Colonial History, 1960). Dewasa ini bermunculan buah pena sejarawan Barat dengan wajah Indonesia-sentris. Misalnya, John David Legge, Indonesia, edisi ke-3, 1980; Bernhard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century, 1971, serta buku karya M.C. Ricklefs yang kini dibicarakan.

Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs, guru besar sejarah Universitas Monash, Australia, meraih Ph.D. di Universitas Cornell tahun 1973 dengan tesis Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (diterbitkan Oxford University Press, 1974). Semasa mengajar di School of Oriental and African Studies, London, Ricklefs menyusun katalog manuskrip Nusantara bersama Petrus Voorhoeve tahun 1977. Dia menulis buku Modern Javanese Historical Tradition (1977), dan menguraikan islamisasi Jawa dalam buku Nehemia Levtzion (Ed.), Conversion to Islam (1979). Pengetahuannya yang mendalam tentang Indonsia menyebabkan Ricklefs dipercayai Prof. Dr. Daniel George Edward Hall (1891-1979) untuk menyempurnakan buku A History of South-East Asia, edisi ke-4, 1981.

Dalam menulis A History of Modern Indonesia, Ricklefs memakai gaya bercerita (narasi). Uraiannya enak dibaca tanpa diganggu catatan kaki. Isi buku dibagi menjadi enam bagian: The Emergence of the Modern Era (5 Bab), Struggles for Hegemony (4 Bab), The Creation of the Colonial State (3 Bab), The Emergence of the Idea of Indonesia (3 Bab), The Destruction of the Colonial State (2 Bab), dan Independent Indonesia (3 Bab).

Ricklefs mengawali uraiannya dari kedatangan Islam. Di kebanyakan daerah di Indonesia, agama ini disebarkan oleh orang Indonesia sendiri. Perdagangan merupakan unsur penting dalam penyebaran itu. Tak lupa dibahasnya peranan tasawuf. Islam memasuki kehidupan rakyat dengan cara damai. Memang ada juga perang, tapi ditegaskan Ricklefs bahwa hal itu lebih bermotifkan persoalan dinasti, strategi dan ekonomi. Setelah membahas pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, dari Aceh sampai Maluku, pengarang juga menguraikan berbagai aspek budaya, sastra dan tradisi keagamaan.

Kemudian pengarang kontak-kontak pertama bangsa Indonesia dengan Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Meski datang belakangan, pengaruh Belanda cepat menggeser pengaruh Portugis. Sebab utamanya, kata Ricklefs, Portugis gagal membuat tempat berpijak yang permanen di Jawa. Tapi Portugis banyak mempengaruhi jalannya sejarah: perubahan jalur niaga akibat jatuhnya Malaka, dan penyebaran agama Nasrani di bagian timur Indonesia. Musik keroncong merupakan pembastaran musik Portugis. Kata-kata Portugis telah memperkaya bahasa kita: kemeja, saku, pita, beludru, renda, bantal, peniti, sepatu, lemari, pigura, bendera, lentera, jendela, meja, garpu, mentega, keju, terigu, bolu, kaldu, kantin, ronda, armada, serdadu, peluru, meriam, rantai, algojo, mandor, onar, bola, biola, boneka, dadu, gereja, padri, sekolah, bangku, pena, tinta, tempo, minggu, roda, sepeda, kereta, pesiar, pesta, nona, permisi, serutu, lelang, antero, sisa, palsu, tembakau.

Abad ke-17 dan ke-18 merupakan era pertarungan hegemoni antara Belanda dan kerajaan-kerajaan Islam. Bangsa Indonesia ternyata cukup alot, sehingga pembentukan suatu negara kolonial baru dimulai pada abad ke-19! Sampai saat ini anak didik kita di sekolah-sekolah masih disuguhi mitos palsu “350 tahun dijajah Belanda”. Padahal kenyataannya, pada tahun 1800 (awal abad ke-19) Belanda baru berkuasa di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Makassar dan Ambon. Seluruh Jawa baru dikuasai Belanda tahun 1830, akhir Perang Diponegoro.

Pada dasawarsa 1830-1840 Belanda mulai memalingkan perhatian ke daerah luar Jawa. Perkembangan industri di Eropa menyebabkan Belanda mengincar sumber bahan baku mineral dan minyak bumi. Ricklefs merinci perluasan pengaruh dan kekuasaan Belanda di seluruh tanah air kita pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Negara kolonial Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru tercapai pada tahun 1910. Agaknya Ricklefs mengambil tahun itu, sebab pada tahun 1910 Belanda mulai memberlakukan Hukum Kekawulaan Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap) yang menyeragamkan hukum dan aturan di seluruh Hindia Belanda. Lihat: Gertrudes Johan Resink, Indonesia’s History between the Myths (1968), serta Soedjatmoko, An Approach to Indonesian History towards an Open Future (1960).

Gerakan-gerakan nasional awal abad ke-20, baik yang berdasarkan Islam maupun ‘sekular’, diuraikan cukup mendetail, sebelum Ricklefs membahas masa akhir ‘zaman Belanda’ yang disusul kisah pendudukan Jepang. Sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan dikelompokkannya ke dalam empat periode: revolusi (1945-1949); eksperimen demokrasi (1950-1957); demokrasi terpimpin (1958-1965); Orde Baru (sejak 1966).

Yang menarik, uraian Ricklefs tak hanya berkisar pada masalah politik, melainkan juga ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lain masyarakat Indonesia. Misalnya, dari 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat empat kali, teh hampir sebelas kali. Sejak tahun 1860 minyak bumi ditemukan di Langkat, dan diproduksi mulai tahun 1892. Pada tahun 1901 minyak bumi mulai dieksploitasi di Kalimantan. Tahun 1900 jenis karet Havea brasiliensis diimpor untuk mengimbangi jenis karet asli Ficus elastica yang mulai diusahakan sejak tahun 1864. Pada tahun 1930 Indonesia mensuplai separoh karet dunia.

Indonesia merupakan negara kedua di Asia yang mengenal kereta api sesudah India. Pembangunan rel kereta api pertama pada tahun 1867 sepanjang 25 km di seluruh Indonesia meningkat menjadi 7425 km pada tahun 1930. Areal persawahan meluas 18 kali di tahun 1930 dibandingkan dengan tahun 1885. Populasi rakyat Indonesia 35,7 juta ditahun 1905; 48,3 (1920); 59,1 (1930), lalu meningkat 70 juta tahun 1939; 77,2 (1950); 85,4 (1955); 97,02 (1961) dan 118,4 juta tahun 1971.

Lebih menarik lagi, dalam buku Ricklefs ini tergambar warna Islam yang lebih nyata dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan bahwa era ‘Indonesia modern’ dimulai sejak kedatangan Islam, yang membuat Nusantara menjadi satu kesatuan sejarah yang padu (a coherent historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam menjadi simbol identitas pribumi dan pembangkit daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof.Dr. George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952) serta Prof.Dr. Harry Jundrich Benda (The Crescent and the Rising Sun, 1958). Kebangkitan nasional awal abad ke-20 dipelopori Sarekat Islam yang menggema di seantero kepulauan, bukan oleh Budi Utomo yang hanya terbatas di Jawa saja.

Dengan membaca buku karya Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs ini, semoga kita terstimulasi untuk lebih membenahi penulisan sejarah tanah air kita.***


TEMPO, 1 OKTOBER 1983

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN
Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat
Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman

DAERAH-DAERAH Nusantara dan Asia Tenggara umumnya memiliki kronik sejarah lokal dengan berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makassar), prawatsat (Thai), bangsawatar (Kamboja), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih sahih.

Namun tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan. Jadi babad atau hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta sejarah yang pernah terjadi. Adalah tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya.

Naskah Sajarah Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat, merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara pada Universitas Leiden tahun 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof.Dr.Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV).

Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada pembaca. Padahal generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu bahwa kaum bumiputra mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi kesempatan.

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van Indie (semacam dewan penasehat) di zaman Belanda, serta kepala Shumubu (semacam departemen agama) di zaman Jepang. Dia merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, dia menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan Prof. Hoesein tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda dan uraian tentang Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958.

Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab Pertama diuraikan isi Sajarah Banten. Bab Kedua menganalisis bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab Ketiga mengupas bagian yang berupa legenda. Dalam Bab Keempat Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan sejarah Jawa.

Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.

Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.

Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Banten—bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).

Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.

Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.

Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit?

Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda Rudolf Arnold Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat. Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.

Terlepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein Djajadiningrat ini layak dibaca oleh mereka yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Hampir setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan yang sejenis dengan Sajarah Banten, yang menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita.***